HUKUM-HUKUM HAID
Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin
Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami
sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara
lain.
1. SHALAT
Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun
sunat, dan tidak sah shalatnya. Juga tidak wajib baginya mengerjakan
shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu
raka'at sempurna, baik pada awal atau akhir waktunya.
Contoh pada awal waktu : Seorang wanita haid setelah matahari terbenam
tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak saru ra'kaat dari waktunya. Maka
wajib baginya, setelah suci, mengqadha' shalat maghrib tersebut karena
ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat
sebelum kedatangan haid.
Adapaun contoh pada akhir waktu, seorang wanita suci dari haid sebelum
matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya.
Maka wajib baginya, setelah bersuci, mengqadha' shalat Shubuh tersebut
karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup
untuk satu rakaat.
Namun, jika wanita yang haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang
tidak cukup untuk satu rakaat sempurna; seperti : Kedatangan haid -pada
contoh pertama- sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid
-pada contoh kedua- sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut
tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
"Artinya : Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat" [Hadits Muttafaq 'alaihi].
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat dari waktu
Ashar, apakah wajib baginya mengerjakan shalat Zhuhur bersama Ashar,
atau mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya' apakah wajib baginya
mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya' .?
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Dan
yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan
sebagian waktu saja, yaitu shalat Ashar dan Isya'. Karena sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum
matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar itu".
[Hadits Muttafaq 'alaihi].
Nabi tidak menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zhuhur dan
Ashar", juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan
menurut kaidah, seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan.
Inilah madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan
dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab Juz 3, hal.70.
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismillah ketika
hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a dan
aminnya, serta mendengarkan Al-Qur'an, maka tidak diharamkan bagi wanita
haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim dan
kitab lainnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersandar
di kamar Aisyah Radhiyallahu 'anha yang ketika itu sedang haid, lalu
beliau membaca Al-Qur'an.
Diriwayatkan pula dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim dari Ummu 'Athiyah
Radhiyallahu 'anha bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
"Artinya : Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid -yakni ke
shalat Idul fitri dan Adha- serta supaya mereka ikut menyaksikan
kebaikan dan do'a orang-orang yang beriman. Tetapi wanita haid menjauhi
tempat shalat"
Sedangkan membaca Al-Qur'an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan
mata atau dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa
hukumnya. Misalnya, mushaf atau lembaran Al-Qur'an diletakkan lalu
matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. Menurut An-Nawawi
dalam kitab Syarh Al- Muhadzdzab, Juz 2, hal. 372 hal ini boleh, tanpa
ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca Al-Qur'an dengan lisan, maka banyak
ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu
Jarir At-Thabari dan Ibnul Munzdir membolehkannya. Juga boleh membaca
ayat Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut Malik dan Asy-Syafi'i dalam
pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul
Baari (Juz 1, hal. 408), serta menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana
diriwayatkan Al-Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim
mengatakan : "Pada dasarnya, tidak ada hadits yang melarang wanita haid
membaca Al-Qur'an. Sedangkan pernyataan "Wanita haid dan orang junub
tidak boleh membaca ayat Al-Qur'an" adalah hadist dha'if menurut
perkataan para ahli hadits. Seandainya wanita haid dilarang membaca
Al-Qur'an, seperti halnya shalat, padahal pada zaman Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam kaum wanitapun mengalami haid, tentu hal itu termasuk
yang dijelaskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya,
diketahui para istri beliau sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta
disampaikan para shahabat kepada orang-orang. Namun, tidak ada
seorangpun yang menyampaikan bahwa ada larangan dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam masalah ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi
haram selama diketahui bahwa Nabi tidak melarangnya. Jika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarangnya, padahal banyak pula
wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya"
[Ibid,Juz 2. hal, 191].
Setelah mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama, seyogyanya
kita katakan, lebih utama bagi wanita haid tidak membaca Al-Qur'an
secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya, seorang guru wanita
yang perlu mengajarkan membaca Al-Qur'an kepada siswi-siswinya atau
seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al-Qur'an,
dan lain sebagainya.
2. PUASA
Diaharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik itu puasa wajib mupun puasa
sunat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia
berkewajiban mengqadha' puasa yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah
Radhiyallahu 'anha.
"Artinya : Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami
mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat". [Hadits
Muttafaq 'alaih]
Jika seorang wanita kedatangan haid ketika sedang berpuasa maka batallah
puasanya, sekalipun hal itu terjadi saat menjelang maghrib, dan wajib
baginya mengqadha' puasa hari itu jika puasa wajib. Namun, jika ia
merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru
keluar darah setelah maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa
puasanya itu sempurna dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih
berada di dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti
mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi ? Beliau pun menjawab.
"Artinya : Ya, jika wanita itu melihat adanya air mani".
Dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaitkan hukum dengan
melihat air mani, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula
masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat
adanya darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.
Juga jika pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan
haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat
setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya
sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam
keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan
belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya.
Dasarnya, hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, katanya.
"Artinya : Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam berada dalam keadaan junub karena jima', bukan karena
mimpi, lalu beliau berpuasa". [Hadits Muattafaq 'alaihi].
3. THAWAF
Diharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib
maupun yang sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Aisyah.
"Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka'bah sebelum kamu suci".
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa'i antara Shafa dan Marwah, wukuf di
Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan
haji serta umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika
seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar haid
langsung setelah thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa'i, maka
tidak apa-apa hukumnya.
[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabiiyah Lin Nisaa' Penulis
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Ustaimin, dengan edisi Indonesia Darah
Kebiasaan Wanita, hal 26 - 31 Penerjemah Muhammad Yusuf Harun, MA,
Penerbit Darul Haq Jakarta]
http://almanhaj.or.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar