Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin
MAKNA NIFAS
Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik
bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3
hari) yang disertai dengan rasa sakit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang
wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan
batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian
disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas
minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya
tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at,
halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata
ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan
berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu
darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari,
karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak
hadits."
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut
kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda
akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai
berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena
selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan
masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika
berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut
dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa
mendatang.
Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam
hal ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang
telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci
dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun
sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan
boleh digauli oleh suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu
kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian
disebutkan dalam kitab Al-Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecualijika si wanita melahirkan bayi yang
sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya
belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah
nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku
baginya adalah hukum wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari
dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd
Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna': "Manakala
seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa
(minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika
sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila
sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera
kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata demikian,
tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali
mengerjakan kewajiban"
HUKUM-HUKUM NIFAS
Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:
1. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab,
jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena
melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah
melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah
dijelaskan.
2. Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak.
Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya
selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia
bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami
diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa
tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas
permintaan isteri. Dalam masa ila' selama empat bulan bila si wanita
mengalami nifas, tidak dihitung terhadap sang suami, dan ditambahkan
atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid,
masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
3. Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena
seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masa baligh
seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.
4. Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu
biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita
yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya
berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan
kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu
adalah darah haid.
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian
keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena
itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya
pada waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid,
kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa
yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib
diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha '
dari Madzhab Hanbali.
Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan
masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid.
Kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka merupakan istihadhah.
Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab Al-Mughni'
bahwa Imam Malik mengatakan: "Apabila seorang wanita mendapati darah
setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk
nifas. Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah.
Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang
berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal
Al-Qur'an dan Sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu.
Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua
kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat
diatasi kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat
mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya maka ia telah terbebas
dari tanggungannya. Sebagaimana firman Allah:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan.. " [Al-Baqarah: 286]
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." [At-Taghabun : 16]
5. Dalam haid,jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami
boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci
sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut
yang masyhur dalam madzhab Hanbali.
Yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang
menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal
itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin
Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari,
lalu ia berkata: "Jangan kau dekati aku !".
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya
karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yaknik
hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan
pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a 'lam.
[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' Penulis
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah
Kebiasaan Wanita hal 53 - 57 terbitan Darul Haq, Penerjemah Muhammad
Yusuf Harin. MA]
http://almanhaj.or.id/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar