Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin
8. 'IDDAH TALAK DIHITUNG DENGAN HAID
Jika seorang suami menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul
dengannya, maka si isteri harus beriddah selama tiga kali haid secara
sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak
hamil. Hal ini didasarkan pada firman Allah.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
"Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." [Al-Baqarah : 228]
Tiga kali quru' artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam
keadaan hamil, maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya
itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah.
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
"Artinya : ..Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya..." [Ath-Thalaaq : 4]
Jika si isteri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan
belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi
pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat
haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah.
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ
فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
"Artinya : Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara
isteri-isterimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan ; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid .." [At-Thalaaq : 4]
Jika si isteri termasuk wanita-wanita yang masih mengalami haid, tetapi
terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau
menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya
sampai ia kembali mendapati haid dan beriddah dengan haid itu. Namun
jika sebab itu sudah tidak ada, seperti sudah sembuh dari sakit atau
telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang, maka
iddahnya satu bulan penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab
tersebut. Inilah pedapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah
syar'iyah. Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid
tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang
terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti
haidnya karena sebab yang tidak jelas, maka iddahnya yaitu satu tahun
penuh dengan perhitungan ; sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk
kemungkinan hamil (karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga
bulan untuk iddahnya.
Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum
mencampuri dan menggauli isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah
sama sekali, baik dengan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah
Ta'ala.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ
عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
"Artinya : Hai prang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka
iddah yang kamu minta menyempurnakannya ..." [Al-Ahzaab : 49]
9. KEPUTUSAN BEBASNYA RAHIM
Yakni keputusan bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan selama
keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan
beberapa masalah. Antara lain, apabila seorang mati dan meninggalkan
wanita (isteri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang
tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya
yang baru itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas
kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa
janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita putuskan
adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati. Namun, jika wanita itu
pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa
janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan karena kita
putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya
haid.
10. KEWAJIBAN MANDI
Wanita haid jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh
badannya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
Fatimah binti Abu Hubaisy.
"Artinya : Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila
telah suci mandilah dan kerjakan shalat". [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Kewajiban minimal dan mandi yaitu mebersihkan seluruh anggota badan
sampai bagian kulit yang ada dibawah rambut. Yang afdhal (lebih utama),
adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid, beliau
bersabda.
"Artinya : Hendaklah seseorang di antara kamu mengambil air dan daun
bidara lalu berwudhu dengan sempurna, kemudian mengguyurkan air di
bagian atas kepala dan menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata ke
seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya.
Setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk bersuci
dengannya. "Asma bertanya : "Bagaimana bersuci dengannya ?" Nabi
menjawab : "Subhanallah". Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata
:"Ikutilah bekas-bekas darah". [Hadits Riwayat Muslim, Shahih Muslim,
Juz 1 hal.179]
Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan
dikhawatirkan air tidak sampai ke dasar rambut. Hal ini didasarkan pada
hadits yang tersebut dalam Shahih Muslim Juz 1, hal. 178 dari Ummu
Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
"Artinya : Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku
melepasnya untuk mandi jinabat ? ' Menurut riwayat lain : 'untuk (mandi)
haid dan jinabat ?' Nabi bersabda. 'Tidak cukup kamu siram kepalamu
tiga kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu guyurkan air ke seluruh
tubuhmu, maka kamupun menajdi suci".
Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia
harus segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia
sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut
membahayakan dirinya dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya
baginya air, maka ia boleh bertayamum sebagai ganti dari mandi sampai
hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemduian mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi
menunda mandi ke waktu lain, dalihnya :"Tidak mungkin dapat mandi
sempurna pada waktu sekarang ini". Akan tetapi ini bukan alasan ataupun
halangan, karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib
dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan
lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.
[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' Penulis
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah
Kebiasaan Wanita hal 38 - 44 terbitan Darul Haq, Penerjemah Muhammad
Yusuf Harin. MA]
http://almanhaj.or.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar