Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al-Mundzir mengatakan : "Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa
haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya".
Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan
Al-Qur'an, Sunnah dan logika.
Dalil Pertama.
Firman Allah Ta'ala.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : "Haid itu
adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka,
sebelum mereka suci..." [Al-Baqarah : 222]
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah
kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, ataupun tiga hari, ataupun
lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya
adalah haid, yakni ada tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum
itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid
tersebut.
Dalil Kedua.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim Juz 4, hal.30 bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika
dalam keadaan ihram untuk umrah.
"Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka'bah sebelum kamu suci".
Kata Aisyah : "Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci".
Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah.
"Artinya : Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan'im".
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan
adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum
tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil Ketiga.
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah
ini tidak terdapat dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, padahal ini perlu, bahkan amat mendesak untuk
dijelaskan.
Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib dipahami
oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah, niscaya telah
dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang,
mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan
dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya.
Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat ;
jumlah bilangan dan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku' dan sujudnya;
tentang zakat : jenis hartanya, nisabnya, presentasenya dan siapa yang
berhak menerimanya; tentang puasa ; waktu dan masanya; tentang haji dan
masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur,
jima' (hubungan suami sitri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang
hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan
perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang
merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan
Allah kepada kaum Mu'minin.
Firman Allah Ta'ala.
ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
"Artinya : ..... Dan kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu ....." [An-Nahl : 89].
مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ
"Artinya : ..... Al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
tetapi mebenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu ...." [Yusuf : 111].
Oleh karena pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab
Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka nyatalah bahwa
hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan
patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum
syara' menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini - yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat
dalam Kitab dan Sunnah - berguna bagi Anda dalam masalah ini dan
masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum-hukum syar'i tidak
dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar'i dari Kitab Allah, atau
Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam atau ijma' yang
diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya,
mengatakan : "Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan
berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu sebuah haid. Allah tidak
menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci diantara dua
haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka
karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan
batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah
ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah" [Risalah fil asmaa'
allati 'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama bihaa. hal. 35].
Dalil Keempat.
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah
menerangkan 'illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu
ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua
dengan hari pertama, antara hari ke empat dengan hari ketiga. Juga tidak
ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau
antara hari kedelapan belas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid
dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat 'illat
yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum
diantara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam 'illat ? Bukankah
hal ini bertentangan dengan qiyas yang benar ? Bukankah menurut qiyas
yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan
keduanya dalam 'illat ?
Dalil Kelima.
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan
batasan, menunjukan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus
dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang
bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut
diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi
perselisihan pendapat adalah Al-Qur'an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau
maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu
diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan disebabkan
luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan
masa atau usia. Kecuali apabila keluarnya darah itu terus menerus tanpa
henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam
sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan
dijelaskan, Inysa Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : "Pada prinsipnya, setiap darah
yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang
menunjukkan bahwa darah itu istihadhah" [Risalah fil asmaa' allati
'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama bihaa. hal. 36].
Kata beliau pula : "Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak
diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka". [Risalah fil asmaa'
allati 'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama bihaa. hal. 38].
Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil,
juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta
lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada pendapat mereka yang
memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut
diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam, yaitu :
mudah dan gampang.
Firman Allah Ta'ala.
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
"Artinya : Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". [Al-Hajj : 78].
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidak seorangpun
mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan.
Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak melampui batas) dan sebarkan
kabar gembira". [Hadits Riwayat Al-Bukhari].
Dan diantara ahlak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa jika beliau
diminta memilih antara dua perkara, maka dipilihnya yang termudah
selama tidak merupakan perbuatan dosa.
[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabiiyah Lin Nisaa' Penulis
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Ustaimin, dengan edisi Indonesia Darah
Kebiasaan Wanita, Penerjemah Muhammad Yusuf Harun, MA, Penerbit Darul
Haq Jakarta]
http://almanhaj.or.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar