HUKUM SHALAT DAN PUASA BAGI WANITA HAIDH


Oleh  Syaikh Shalih Al-Fauzan


Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apa hukum shalat dan puasa yang dilakukan oleh wanita yang sedang haidh .?

Jawanan
Haram bagi wanita itu untuk melaksanakannya. Shalat dan puasa yang ia kerjakan tidak sah berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Bukankah jika wanita sedang haidh tidak shalat dan tidak puasa" [Muttafaqun 'alaih]

Jika wanita haidh telah mendapatkan kesuciannya, maka ia harus mengqadha puasa dan tidak perlu mengqadha shalat berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu 'anha : " Di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami mengalami haidh maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tapi kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat" [Muttafaqun 'alaih].

Perbedaannya -wallahu 'alam- shalat dilakukan berulang-ulang maka jika shalat itu di qadha akan menimbulkan kesulitan bagi wanita itu, lain halnya dengan puasa.

[At-Tanbihat, Syaikh Shalih Al-Fauzan, halaman : 213]


SHALAT DAN PUASANYA WANITA HAIDH

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'


Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Kami harap Anda memberi kami tambahan pendapat tentang shalat dan puasa yang dilakukan wanita saat haidh, kami telah banyak menemukan dalil-dalil tentang hal ini dan kami menginginkan yang benar .?

Jawaban
Jika seorang wanita mendapatkan haidh maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa, lalu jika ia telah mendapatkan kesuciannya maka ia harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya selama haidh itu dan tidak perlu mengqadha shalatnya, berdasarkan hadist yang diriwayatkan Al-Bukhari dan lainnya, tentang keterangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai kekurangan agama wanita, yaitu sabda beliau.

"Artinya : Bukankah bila seorang di antara kalian jika ia haidh ia tidak shalat dan tidak puasa"

Juga berdasarkan riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Muadzah, bahwa ia bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Mengapa wanita haidh harus mengqadha puasa tapi tidak harus mengqadha shalat ?". Maka Aisyah berkata : Apakah engkau Haruri ? Dia berkata : Saya bukan orang Haruri, tapi saya bertanya, maka Aisyah berkata : "Kami juga mengalami haid di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat". [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim serta lainnya]

Sebenarnya ini merupakan ungkapan kasih sayang Allah kepada wanita, Allah tidak mewajibkan untuk mengqadha shalat karena shalat dilakukan berulang-ulang sebanyak lima kali dalam sehari, begitu juga dengan haidh yang terus menerus terjadi setiap bulanm pada diri wanita, yang mana jika shalat itu haris diqadha maka hal ini akan menimbulkan kesulittan yang besar. Adapun puasa, dikarenakan kewaijban itu hanya sekali dalam setahun, maka kewajiban itu tidak berlaku saat haidh, ini pun merupakan ungkapan kasih sayang Allah kepada wanita, lalu Allah memerintahkan kepada wanita itu untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan agar tercapainya kemaslahatn syari'ah bagi wanita itu.

[Majalah Al-Buhut Al-Islamiyah 26/83]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentan Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal.155-136 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
 http://almanhaj.or.id

Bolehkah Wanita Nifas Melaksanakan Shalat, Puasa, Haji Sebelum Genap Empat Puluh Hari Masa Nifasnya

TIDAK SADAR SELAMA DUA HARI KARENA SAKIT AKAN MELAHIRKAN TETAPI TIDAK MENGELUARKAN DARAH, WAJIBKAH MENGQADHA SHALAT


Oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa'di

Pertanyaan
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya : Jika seorang wanita mengalami sakit karena hendak melahirkan hingga tidak sadar selama dau hari namun ia belum mengeluarkan darah, apakah diharuskan baginya untuk mengqadha shalat atau tidak ?

Jawaban
Ya, diharuskan baginya untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan selama dua hari iu, karena ketidaksadaran yang disebabkan penyakit atau rasa sakit dll. Tidak menggugurkan kewajiban shalat seseorang, juga wanita itu belum mengeluarkan darah sehingga ia belum dikenakan hukum nifas.

[Al-Majmu'ah Al-Kamilah Lifatawa Asy-Syaikh As-Sa'di, halaman 99]


BOLEHKAH WANITA NIFAS MELAKSANAKAN SHALAT, PUASA DAN HAJI SEBELUM GENAP EMPAT PULUH HARI MASA NIFASNYA

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apakah wanita nifas boleh melakukan puasa, shalat dan haji jika ia sudah suci sebelum sampai hari keempat puluh dari sejak ia melahirkan ?

Jawaban
Ya, boleh baginya untuk melaksanakan shalat, puasa, haji dan umrah, serta boleh bagi suaminya untuk mencampurinya walaupun belum genap empat puluh hari masa nifasnya, jika umpamanya ia telah suci pada hari kedua puluh maka ia harus mandi, melaksanakan shalat, puasa dan ia halal untuk digauli oleh suaminya. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Utsman bin Abu Al-'Ash bahwa ia memakruhkan hal itu, maka makruh disini diartikan sebagai suatu hal yang sebaiknya dijauhi sebab tidak ada dalil yang menyebutkan tentang hal ini, pernyataan makruh yang disebutkan tentang hal ini adalah hasil ijtihadnya. Pendapat yang benar adalah dibolehkan bagi wanita itu untuk melakukan hal-hal tersebut jika ia telah suci sebelum genap empat puluh hari dari sejak ia melahirkan, dan jika darah itu kembali lagi sebelum hari keempat puluh maka darah yang keluar itu dianggap sebagai darah nnifas, akan tetapi puasnya, shalatnya dan hajinya yang ia lakukan di masa suci itu adalah sah dan tidak perlu diulang.

[Kitab Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 1/43]


BOLEHKAH SAYA SHALAT KETIKA SAYA MERASAKAN SAKIT KARENA MELAHIRKAN


Oleh
Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin




Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin ditanya : Bolehkah saya melaksanakan shalat ketika saya merasakan sakit karena melahirkan .?

Jawaban
Seorang wanita melakukan shalat harus dalam keadaan suci dari haidh atau nifas, akan tetapi jika ia mengeluarkan darah sehari sebelum ia melahirkan maka darah itu dianggap darah haidh, jika demikian maka tidak boleh melakukan shalat pada hari itu. Adapun jika ia tidak mengeluarkan darah, maka ia tetap diwajibkan melaksanakan shalat walaupun ia sedang merasa sakit karena proses kelahiran, sebagaimana orang sakit yang tetap diwajibkan shalat walaupun ia sedang sakit, karena adanya penyakit itu tidak menggugurkan kewajban shalat pada seseorang.

[Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Al-Jibrin, halaman 35]

HUKUM PUASA DAN SHALAT BAGI WANITA NIFAS

Oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan


Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apa hukum shalat dan puasa bagi wanita nifas ?

Jawaban
Diharamkan bagi wanita nifas untuk melaksanakan puasa, shalat atau thawaf di Ka'bah, sebagaimana diharamkan bagi wanita haidh, akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha puasa fardhu yang ia tinggalkan selama masa nifas sebagaimana wanita haidh.

[At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, halaman 19]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal 162-164 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
 http://almanhaj.or.id

SEORANG WANITA MENGELUARKAN CAIRAN (DARI KEMALUANNYA) SELAMA ITU TERJADI IA TIDAK MENGERJAKAN SHALAT, HAL INI TERJADI PADA BULAN TERKAHIR KEHAMILAN

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Ada seorang wanita hamil yang pada bulan kesembilan dari kehamilannya merasakan adanya cairan air seni setiap saat sehingga ia meninggalkan shalat pada bulan terkahir dari kehamilannya itu. Apakah kondisi ini bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan shalat ? Apa yang seharusnya ia lakukan ?

Jawaban
Bagi wanita tersebut dan yang seumpamanya tidak boleh meninggalkan shalat, bahkan wajib atasnya melaksanakan shalat dengan kondisinya itu, dan hendaknya ia berwudhu pada setiap waktu shalat sebagaimana wanita mustahadhah dan senantias selalu berusaha semampunya untuk menjaga dengan menggunakan kapas atau lainnya, serta mengerjakan shalat pada waktunya. Disyari'atkan pula atasnya untuk mengerjakan shalat-shalat sunnat pada waktunya. Ia boleh menjama' shalat Zhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya' seperti halnya wanita mustahadhah. Hal ini berdasarkan firman Allah.

"Artinya : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" [At-Thagabun : 16]

Lain dari itu, ia harus mengqadha shalat-shalat yang ditinggalkannya yang disertai dengan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu disertai dengan penyesalan atas apa yang telah diperbuatnya itu dengan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, ini berdasarkan firman Allah.

"Artinya : Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [An-Nur : 31]

[Kitab Fatawa ad-Da'wah Syaikh ibnu Baaz, 1/44]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal 164-165 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
 http://almanhaj.or.id

HUKUM MENUTUP KEDUA TELAPAK TANGAN DAN KEDUA TELAPAK KAKI DALAM SHALAT

Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Pertanyan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukumnya menutup kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki dalam shalat ?

Jawaban
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan : Bahwa tidak diharuskan bagi wanita untuk menutup kedua telapak tangan dan kedua telapak kakinya saat shalat karena keduanya itu bukanlah aurat. Ia menyebutkan bahwa inilah pendapat yang benar.

Adapun hadits Ummu Salamah yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wanita yang shalat dengan menggunakan baju dan khimar namun tanpa menggunakan sarung, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : (Boleh) jika baju panjangnya itu dapat menutupi terlihatnya kedua kakinya"

Walaupun hadits ini menunjukkan adanya kewajiban untuk menutupi kedua telapak kaki dalam shalat akan tetapi banyak yang menyatakan bahwa hadits ini lemah, mereka mengatakan : Hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah baik secara marfu' juga secara mauquf.

Maka perintah kepada wanita untuk menutupi kedua telapak kakinya dan kedua telapak tangannya saat shalat jika tidak ada pria yang bukan makhramnya, membutuhkan dalil syar'i yang menujukkan pada hal itu. Adapun yang diperintahkan kepada wanita adalah menggunakan khimar beserta baju gamis (baju panjang), akan tetapi ungkapan umum yang terdapat dalam sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi.

"Artinya : Wanita adalah aurat"

Menunjukkan bahwa menutup kedua telapak kaki dan kedua telapak tangan adalah merupakan sikap yang lebih behati-hati dalam melaksanakan shalat. Wallahu a'lam

[Zinatul Ma'rah, Syaikh Abdullah Al-Fauzan, hal. 49]

HUKUM WANITA YANG MENGENAKAN CADAR KETIKA SHALAT

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa hukumnya seorang wanita yang mengenakan cadar ketika shalat ?

Jawaban
Dikatakan dalam kitab Al-Mughni : Makruh hukumnya seorang wanita mengenalan cadar ketika shalat, karena cadar itu akan menghalanginya menyentuhkan kening dan hidungnya ke tempat sujud, hal ini sama hukumnya dengan seorang pria yang menutup mulutnya ketika shalat padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang pria untuk menutup mulutnya ketika shalat.

[Zinatul Ma'rah, Syaikh Abdullah Al-Fauzan, hal. 5]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
 http://almanhaj.or.id/

Shalat Dengan Pakaian Yang Terkena Kencing Anaknya

KETIKA SEDANG MELAKSANAKAN SHALAT TERINGAT BAHWA PAKAIAN YANG DIKENAKANNYA TERKENA NAJIS


Oleh Syaikh Abdullah bin Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita lupa sehingga ia shalat dengan menggunakan pakaian yang telah terkena najis, lalu di tengah shalat ia teringat bahwa pakaian yang dipakaianya itu telah terkena najis, apakah boleh bagi wnaita itu menghentikan shalatnya untuk mengganti pakaian itu? Dan bilakah saat-saat dibolehkannya menghentikan shalat?

Jawaban
Barangsiapa yang melaksanakan shalat dengan membawa najis dan ia mengetahui adanya najis itu maka shalatnya batal, akan tetapi jika ia tidak tahu adanya najis hingga selesai shalat maka shalatnya sah dan tidak diharuskan baginya untuk mengulangi shalat itu. Jika keberadaan najis itu diketahui saat ia melakukan shalat serta memungkinkan baginya untuk menghilangkan najis itu dengan segerra,maka hendaknya ia lakukan itu kemudian melanjutkan shalatnya hingga selesai.

Telah disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa suatu ketika beliau melepaskan kedua sandalnya saat shalat setelah malaikat Jibril mengkhabarkan beliau bahwa pada kedua sandalnya itu terdapat najis dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatalkan bagian shalat yang telah dikerjakannya. Begitu juga bila mengetahui bahwa pada sorbannya terdapat najis, maka hendaklah segera menanggalkannya berdasarkan riwayat tadi.

Adapun jika menghilangkan najis itu membutuhkan suatu proses yang panjang, seperti harus melepaskan baju atau celana atau lainnya yang mana setelah melepaskan pakaian itu ia jauh dari shalatnya, maka hendaknya menghentikan shalat dulu untuk itu dan memulai shalatnya dari awal, seperti halnya bila teringat bahwa ia tidak dalam keadaan suci atau batal wudhunya saat shalat, atau batal shalatnya karena tertawa atau lainnya saat shalat.

[Fatawa Al-Mar’ah, halaman 36]

SHALAT DENGAN PAKAIAN YANG TERKENA KENCING ANAKNYA


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta


Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Ketika menempuh perjalanan dengan menggunakan pesawat, pakaian seorang wanita terkena najis berupa air kencing anaknya dan tidak mungkin baginya untuk mengganti pakaian tersebut, karena seluruh pakaiannya ada di dalam bagasi pesawat, apakah boleh baginya untuk shalat dengan pakaian yang bernajis itu ataukah ia harus menanti hingga pesawat itu sampai di darat, dan perlu diketahui jika pesawat itu sampai di darat maka ia akan kehabisan waktu shalat?

Jawaban
Hendaknya ia melakukan shalat pada waktunya walaupun harus menggunakan pakaian yang bernajis karena ia mendapat halangan untuk membersihkan pakaian itu atau untuk menggantinya, dan tidak perlu baginya untuk mengulangi shalat itu berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [At-Taghabun : 16]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampu kalian, dan jika aku melarang kalian pada suatu hal maka tinggalkanlah hal tersebut” [Muttafaq Alaih]

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta VII/338 no. 12087]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin Lc, Penerbit Darul Haq]
 http://almanhaj.or.id

WAS-WAS KETIKA WUDHU


Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Setelah selesai wudhu, saya merasa seolah-olah mengeluarkan air kencing beberapa tetes. Apakah saya harus mengulangi wudhu? Perlu diketahui bahwa setiap kali mengulangi wudhu saya, saya selalu merasa mengeluarkan air kencing. Apa yang harus saya lakukan?

Jawaban.
Perasaan seperti di atas yang timbul setiap kali selesai wudhu, adalah merupakan was-was dari syetan. Maka dia tidak usah mengulang wudhunya, bahkan disyariatkan (diwajibkan) baginya untuk berpaling (membuang jauh-jauh) perasaan tersebut. Sebaliknya dia harus yakin, bahwa wudhunya tetap sah dan tidak batal. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang seseorang yang merasakan sesuatu (di duburnya) ketika shalat. Beliau menjawab.

“Artinya :Dia tidak usah membatalkan shalatnya sebelum dia mendengarkan bunyi kentut atau mencium bau (kentut)” [Hadits Riwayat Bukhari : 134, Muslim : 540,-pent]

Kita harus tahu bahwa syetan itu sangat gemar merusak ibadahnya seorang muslim, seperti shalat, wudhu dan lain-lain. Oleh karena itu kita wajib menentang dan melawan syetan, serta tidak tunduk dan tidak menuruti was-was yang dihembuskan oleh syetan dengan cara berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari godaannya dan dari tipu dayanya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebaik-baik penolong.

ORANG YANG MENDERITA PENYAKIT BERUPA KELUARNYA ANGIN (KENTUT) SECARA TERUS MENERUS

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sudah sejak lama saya menderita sakit pencernaan, yang menyebabkan keluarnya bau (seperti bau kentut), termasuk ketika sedang shalat. Hal ini menyebabkan saya ragu-ragu di dalam shalat. Hingga ketika saya mencium bau apapun, saya mengira bau tersebut berasal dari saya. Bagaimana hukum shalat saya ini ? Haruskah saya berwudhu ketika saya ragu-ragu (kentut atau tidak)? Dalam keadaan seperti ini bolehkah saya menjadi imam dengan alasan bacaan saya dianggap lebih baik dari mayoritas para makmum?

Jawaban
Pada dasarnya anda dalam keadaan bersuci (punya wudhu). Dan anda wajib menyempurnakan shalat tanpa memperdulikan was-was, sampai anda yakin bahwa anda benar-benar kentut, yaitu anda benar-benar mendengar suara kentut atau mencium baunya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau ditanya tentang seseorang yang ragu-ragu (kentut atau tidak) ketika shalat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.

“Artinya :Dia tidak usah membatalkan shalatnya sebelum dia mendengarkan bunyi kentut atau mencium bau (kentut)” [Hadits Riwayat Bukhari : 134, Muslim : 540,-pent]

Dan dalam keadaan seperti ini, anda boleh menjadi imam apabila anda memang lebih baik bacaannya dari yang lain, dengan syarat munculnya bau tersebut tidak terus menerus, hanya sekali-sekali saja. Jika anda betul-betul kentut, maka batal shalat anda, baik anda sebagai imam atau makmum atau shalat sendiri.

Ketika anda batal dan anda sedang menjadi imam, maka orang yang di belakang anda harus menggantikan kedudukan anda.

Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wqa Ta’ala untuk kami dan anda

ORANG YANG MENGALAMI KENCING TERUS MENERUS

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada seorang perempuan yang hamil sembilan bulan, yang selalu merasa keluar air kencing pada setiap saat. Dan dia tidak melakukan shalat di bulan-bulan terakhir dari kehamilannya.. Apakah hal ini termasuk meninggalkan kewajiban shalat? Dan apa yang harus dilakukan oleh wanita tersebut?

Jawaban
Wanita tersebut sama sekali tidak diperbolehkan meinggalkan shalat. Dia wajib shalat sesuai dengan keadaannya, yaitu berwudhu setiap kali mau shalat. Perempuan seperti ini keadaannya sama seperti perempuan yang terus menerus mengeluarkan darah (istihadhah). Dia harus menjaga air kencingnya (semampu dia), misalnya dengan membalut kemaluannya dengan kain atau lainnya. Dan dia harus shalat tepat pada waktunya. Dia masih diperbolehkan shalat sunnah sesuai dengan waktunya. Dia juga boleh menjamak shalat Dzuhur dengan Ashar atau shalat Maghrib dengan Isya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian” [At-Taghabun : 16]

Wanita tadi harus mengerjakan shalat yang selama ini dia tinggalkan, sambil bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara menyesali kesalahannya dan bertekad bulat untuk tidak mengulanginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntang” [An-Nuur : 31]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, Edisi Indonesia Fatawa Bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan – Solo]
 http://almanhaj.or.id

Hukum Shalat Wanita Tanpa Khimar, Bolehkah Shalat Menggunakan Cadar Dan Sarung Tangan

Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Pertanyan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa hukumnya shalat seorang wanita yang tidak menggunakan khimar ?

Jawaban
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Allah tidak akan menerima shalat orang yang telah haidh (telah baligh) kecuali jika ia menggunakan khimar"

Hadits ini menunjukkan bahwa shalat seorang wanita tidak akan diterima kecuali jika ia memakai khimar untuk menutupi kepalanya. Adapun yang dimaksud dengan orang yang telah haidh adalah wanita yang telah baligh, dan bukan dimaksudkan dengan seorang wanita yang sedang mendapatkan haidh, karena wanita yang mendapatkan haidh dilarang untuk melakukan shalat, digunakan kalimat "orang yang telah haidh" karena yang mengalami haidh adalah wanita yang sudah baligh. Maka seandainya balighnya seorang wanita itu dengan mengalami mimpi basah maka dia termasuk dalam hukum ini.

Hadits ini menunjukkan bahwa wanita yang belum baligh jika akan melakukan shalat maka tidak diwajibkan baginya untuk menggunakan khimar.

[Zinatul Mar'ah, Syaikh Abdullah Al-Fauzan, halaman 49]

BOLEHKAH WANITA SHALAT DENGAN MENGGUNAKAN CADAR DAN SARUNG TANGAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah seorang wanita melaksanakan shalat dengan menggunakan cadar dan sarung tangan ?

Jawaban
Jika wanita itu melaksanakan shalat di dalam rumahnya atau di suatu tempat yang tidak ada orang yang melihatnya kecuali kaum pria mahramnya maka disyariatkan baginya untuk membuka wajah beserta kedua telapak tangannya agar kening dan hidungnya dapat menyentuh langsung pada tempat sujud, begitu juga kedua telapak tangannya. Akan tetapi jika ia melakukan shalat di suatu tempat yang terdapat kaum pria yang bukan mahramnya, maka ia harus menutup wajahnya karena menutup wajah dihadapan pria yang bukan mahramnya wajib hukumnya dan tidak boleh baginya untuk membuka wajahnya di hadapan pria yang bukan mahram sebagaimana disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Menggunakan sarung tangan saat shalat adalah suatu perkara yang disyari'atkan, dan ini adalah suatu perkara yang banyak dilakukan para istri sahabat, dengan dalil, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersbada.

"Artinya : Janganlah seorang wanita muhrimah (yang sedang ihram) menggunakan cadar dan jangan pula menggunakan kedua sarung itu". [Al-Hadits]

Hadits ini menjunjukkan bahwa diantara kebiasaan para wanita sahabat adalah mengenakan sarung tangan, berdasarkan ini maka dibolehkan bagi seorang wanita menggunakan sarung tangan ketika shalat jika terdapat pria asing yang bukan mahramanya. Adapun yang berhubungan dengan menutup wajah maka hendaknya ia menutupi wajahnya itu dalam shalat ketika duduk dan berdiri, lalu jika ia hendak sujud maka ia membuka wajahnya itu agar kening dan hidungnya menyentuh langusng pada tempat sujud.

[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/248]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
 http://almanhaj.or.id

APAKAH WANITA HARUS MELURUSKAN SHAFNYA DALAM SHALAT


Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apakah shaf wanita dalam shalat harus diluruskan dan ditertibkan ? Apakah hukum shaf pertama sama dengan shaf-shaf lainnya, khususnya bila tempat shalat kaum wanita benar-benar terpisah dari tempat shalat kaum pria ?

Jawaban
Hukum-hukum yang ditetapkan dalam shaf-shaf wanita sama dengan hukum-hukum yang ditetapkan dalam shaf-shaf pria dalam hal meluruskan, menertibkan dan mengisi shaf yang kosong. Kemudian jika di antara kaum pria dan wanita tidak ada tabir, maka sebaik-baiknya shaf wanita adalah yang paling belakang, karena shaf yang paling belakang itu adalah yang paling jauh dari kaum pria, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, akan tetapi jika diantara kaum pria dan kaum wanita terdapat tabir pemisah, maka sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling depan, karena dengan adanya tabir berarti sesuatu keburukan yang dikhawatirkan terjadi antara pria dan wanita telah hilang, disamping itu, shaf yang terdepan lebih dekat kepada imam. Wallahu a’lam


BENARKAH SHAF YANG PALING UTAMA BAGI WANITA DALAM SHALAT ADALAH SHAF YANG PALING BELAKANG


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan



Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Kaum wanita di bulan Ramadhan berlomba-lomba untuk mendapatkan shaf paling belakang dalam shalat berjamah di masjid, mereka enggan duduk di shaf pertama sehingga hal itu menyebabkan shaf-shaf pertama di tempat shalat kaum wanita menjadi kosong, dan sebaliknya shaf terakhir penuh membludak hingga menutupi jalan bagi kaum wanita yang ingin menuju ke shaf depan, hal ini mereka lakukan berdasarkan sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sebaik-baiknya shaf wanita (dalam shalat) adalah shaf paling belakang”

Mohon penjelasan anda tentang hal ini.

Jawaban
Mengenai hal ini detailnya sebagai berikut : Jika kaum wanita itu shalat dengan adanya tabir pembatas antara mereka dengan kaum pria maka shaf yang terbaik adalah shaf yang terdepan karena hilangnya hal yang dikhawatirkan terjadi antara pria dan wanita. Dengan demikian sebaik-baik shaf wanita adalah shaf pertama sebagaimana shaf-shaf pada kaum pria, karena keberadaan tabir pembatas itu dapat menghilangkan kekhawatiran terjadinya fitnah. Hal ini berlaku jika ada tabir pembatas antara pria dan wanita. Dan bagi kaum wanita pun harus meluruskan, menertibkan dan mengisi shaf depan yang kosong, kemudian shaf berikutnya, sebagaimana ketetapan ini berlaku pada shaf kaum pria. Jadi, ketetapan-ketetapan ini berlaku bila ada tabir pemabatas.

[Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/56-57]


BILA TERDAPAT PEMBATAS (TABIR) ANTARA KAUM PRIA DAN KAUM WANITA


Oleh
Syaikh Abdullah bin Jibrin



Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Jika terdapat pembatas (tabir) di suatu masjid yang memisahkan tempat shalat kaum pria dengan tempat shalat kaum wanita, apakah masih berlaku sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi

“Artinya : Sebaik-baiknya shaf pria adalah shaf terdepan dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terakhir, dan sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan seburuk-buruknya adalah shaf terdepan”

Ataukah tidak berlaku lagi jika demikian keadaannya, sehingga sebaik-baik shaf wanita adalah yang terdepan ? Berilah kami jawaban, semoga Allah menunjuki anda.

Jawaban
Alasan bahwa sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang paling belakang ialah karena shaf yang paling belakang itu adalah shaf yang paling jauh dari kaum pria, semakin jauh seorang wanita dari kaum pria maka semakin terjaga dan terpelihara kehormatannya, dan semakin jauh dari kecenderungan terhadap kemaksiatan. Akan tetapi jika tempat shalat kaum wanita jauh dan terpisah dengan dinding atau pembatas sejenis lainnya, sehingga kaum wanita itu hanya mengandalkan pengeras suara dalam mengikuti imam, maka pendapat yang kuat dalam hal ini adalah, bahwa shaf yang pertama adalah yang lebih utama dari pada shaf yang dibelakangnya dan seterusnya, karena shaf terdepan ini lebih dekat kepada kiblat.

[Fatawa Ash-Shiyam, Syaikh Abdullah Al-Jibrin, hal. 94]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
 http://almanhaj.or.id

BENARKAH KAUM WANITA TIDAK BOLEH MASUK MASJID KARENA MEREKA ADALAH NAJIS?


Oleh Al-Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya : Ada syaikh di negara Muslim mengeluarkan fatwa bahwa kaum wanita tidak boleh melaksanakan shalat di masjid-masjid atau bahwa kaum wanta adalah najis maka tidak boleh masuk ke dalam masjid. Pendapat semacam ini telah menimbulkan perselisihan di antara kaum Muslimin, bagaimana menurut Anda?

Jawaban
Manusia bukanlah najis, baik pria maupun wanita, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, karena itu wanita dibolehkan untuk masuk ke dalam masjid kecuali jika ia dalam keadaan junub atau haidh, maka tidak boleh baginya untuk masuk ke masjid kecuali hanya sekedar lewat, dengan syarat ia harus berhati-hati agar darah haidhnya itu tidak menodai masjid, berdasarkan firman Allah.

“Artinya : (Jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” [An-Nisa : 43]

Pernah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi beliau saat beliau sedang iti’kaf di masjid, pernah juga di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang budak perempuan yang mengumpulkan sampah-sampah masjid dan membersihkannya, bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kaum pria untuk mencegah kaum wanita melaksanakan shalat di masjid dengan sabdanya.

“Artinya : Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah”

Dan telah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Sebaik-baiknya shaf kaum pria adalah shaf yang terdepan sedang shaf yang terburuk adalah shaf yang paling belakang, dan sebaik-baiknya shaf kaum wanita adalah shaf yang paling akhir sedang shaf yang terburuk adalah shaf yang paling depan” [Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Hadits ini merupakan keterangan tentang kedudukan wanita terhadap shaf-shaf kaum pria dalam melaksanakan shalat berjama’ah. Telah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pula bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Jika isteri-isteri kalian minta izin kepada kalian di malam hari untuk pergi ke masjid, maka berilah mereka izin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi]

Al-Lajnah Ad-Daimah telah mengeluarkan fatwa tentang shalat wanita bersama jama’ah di masjid, fatwa itu berbunyi sebagai berikut :Diberi keringan bagi wanita yang datang ke masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at dan untuk melaksanakan shalat-shalat lainnya dengan berjama’ah, dan bagi suaminya tidak boleh melarangnya melakukan hal itu, namun shalatnya seorang wanita di rumahnya adalah lebih baik baginya. Dan jika seorang wanita akan pergi ke masjid, maka ia harus memperhatikan etika Islam dengan menggunakan pakaian yang dapat menutupi auratnya, jangan menggunakan pakaian yang tipis (transparan) atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya, tidak menggunakan minyak wangi dan tidak menyatu dalam shaf kaum pria, akan tetapi membuat shaf tersendiri di belakang shaf kaum pria. Kaum wanita di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke masjid dengan menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan kain tebal, lalu mereka melakukan shalat di belakang kaum pria.

Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.

“Artinya : Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah”

Beliau juga bersabda.

“Artinya :Sebaik-baik shaf kaum pria adalah shaf yang paling depan sedang seburuk-buruknya adalah shaf yang paling akhir, dan sebaik-baik shaf kaum wanita adalah shaf yang paling akhir sedang seburuk-buruknya adalah shaf yang paling depan”

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah 21/64]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
 http://almanhaj.or.id/

MUSLIMAH KE MASJID


Oleh Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta



Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Pria itu dilahirkan sebagai anak Kristiani kemudian ia masuk Islam dan diikuti oleh isterinya pula, suatu hari Jum’at ketika ia pergi ke masjid bersama isterinya, seseorang berkata ; “Sesungguhnya seorang wanita muslimah dilarang masuk ke dalam masjid”, maka pria itu mendatangi imam masjid dan bertanya : “Mengapa wanita muslimah tidak boleh masuk ke dalam masjid?” Imam masjid itu menjawab : “Karena tidak semua wanita muslimah dalam keadaan suci, bahkan seluruh wanita muslimah di Makkah Al-Mukaramah tidak masuk ke dalam masjid-masjid karena hal itu tidak diizinkan bagi mereka”. Pria itu membacakan kepada sang imam surat Al-Jumu’ah ayat 9 yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli”, Lalu pria itu bertanya : “Apakah hal ini benar?” dan ini termasuk, ia menyebutkan bahwa kaum wanita Kristiani melaksanakan ibadah di dalam gereja, tapi mengapa di haramkan bagi wanita muslimah untuk masuk ke dalam masjid? Ia mengharapkan jawaban tentang masalah ini agar dapat menerangkan kepada kaum muslimin.

Jawaban
Boleh bagi wanita muslimah untuk melaksanakan shalat di dalam masjid-masjid, dan bagi suaminya tidak boleh melarang isterinya jika ia meminta izin untuk pergi ke masjid selama isterinya tetap menutup aurat dan tidak menampakkan bagian badannya yang diharamkan bagi orang asing untuk melihatnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bawha beliau bersabda.

“Artinya : Jika para isteri kalian minta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid maka izinkanlah mereka”.

Dalam riwayat lain disebutkan

“Artinya : Janganlah kalian melarang mereka untuk berada di dalam masjid jika mereka minta izin kepada kalian”.

Maka berkata Bilal –salah seorang anak Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu- : “Demi Allah kami pasti akan melarang (mereka ke masjid)”, maka Abdullah berkata : “Aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan itu tapi (mengapa malah) engkau berkata : “Kami pasti akan melarang mereka”.

Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya.

Jika wanita itu tidak menutup aurat hingga nampak bagian tubuhnya yang diharamkan bagi pria asing untuk melihatnya, atau wanita itu bersolek dan menggunakan wewangian, maka tidak boleh baginya untuk keluar rumah dalam kondisi seperti ini, apalagi mendatangi masjid serta melaksanakan shalat di dalamnya, karena hal itu akan menimbulkan fitnah, Allah Subhanahu wa Taala berfirman.

“Artinya : Katakanlah kepada wanita beriman :”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memlihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah merekla menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan, kecuali kepada suami mereka…” [An-Nur : 31]

“Artinya : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ahzab : 59]

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Zainab At-Tsaqafiah menceritakan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Jika seorang wanita di antara kalian mengikuti shalat Isya (di masjid) maka janganlah ia berdandan malam itu”.

Dalam riwayat lain disebutkan.

“Artinya : Jika seorang wanita di antara kalian datang ke masjid maka janganlah ia menyentuh (menggunakan) pewangi”

Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya.

Dan dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bawa para isteri sahabat melaksanakan shalat Shubuh berjama’ah, mereka menutupi tubuhnya dengan kain-kain hingga tidak seorangpun mengenali mereka. Dalam hadits lain pun telah disebutkan bahwa Amrah binti Abdurrahman berkata ; “Aku mendengar Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam melihat apa yang telah terjadi pada kaum wanita, tentulah beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaimana dilarangnya kaum wanita bani Israil”. Ditanyakan kepada Amrah : “Kaum wanita bani Israil dilarang pergi ke masjid/” Amrah menjawab : “Ya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.

Nash-nash ini dengan jelas menunjukkan bahwa wanita muslimah jika ia konsisten dengan norma Islam dalam berpakaian dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah, yang dapat memperdayakan orang-orang yang lemah imannya dengan berbagai hiasan yang menggoda, maka tidak ada larangan baginya untuk shalat di masjid. Sebaliknya, jika wanita itu dalam keadaan yang dapat menggoda orang-orang yang cenderung kepada keburukan atau menimbulkan fitnah terhadap orang yang di dalam hatinya terdapat keraguan, maka wanita itu akan dilarang masuk ke dalam masjid, bahkan dilarang baginya untuk keluar dari rumahnya serta menghindari pertemuan-pertemuan umum.

Adapun mengenai kaum wanita di Makkah, mereka tidak ada yang diperkenankan untuk masuk ke dalam masjid-masjid, maka ini adalah tidak benar, yang benar adalah bahwa dibolehkan bagi mereka masuk ke dalam masjid-masjid bahkan di bolehkan bagi mereka masuk ke dalam masjidil Haram serta melakukan shalat jama’ah di dalamnya, hanya saja mereka diberikan tempat khusus agar tidak bercampur dengan kaum pria dalam melaksanakan shalat.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta VII/330-332 no. 873]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]
 http://almanhaj.or.id

Pakaian yang Disyariatkan bagi Wanita Muslimah

A. Sifat Pakaian yang Disyariatkan bagi Wanita Muslimah

1. Diwajibkan pakaian wanita muslimah itu menutupi seluruh badannya dari (pandangan) laki-laki yang bukan mahramnya. Dan janganlah terbuka untuk mahram-mahramnya kecuali yang telah terbiasa terbuka seperti wajah, kedua telapak tangan dan kedua kakinya.

2. Agar pakaian itu menutupi apa yang ada di sebaliknya (yakni tubuhnya), janganlah terlalu tipis (transparan), sehingga dapat terlihat bentuk tubuhnya.
3.Tidaklah pakaian itu sempit yang mempertontonkan bentuk anggota badannya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim dari Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bahwasanya beliau bersabda:
“Dua kelompok dari penduduk neraka yang aku belum melihatnya, (kelompok pertama) yaitu wanita yang berpakaian (pada hakekatnya) ia telanjang, merayu-¬rayu dan menggoda, kepala mereka seperti punuk onta (melenggak-lenggok, membesarkan konde), mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya. Dan (kelompok kedua) yaitu laki-laki yang bersamanya cemeti seperti ekor sapi yang dengannya manusia saling rnemukul-mukul sesama hamba Allah. “(HR. Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’ Al-Fatawa (22/146) dalam menafsirkan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam:
“Bahwa perempuan itu memakai pakaian yang tidak menutupinya. Dia berpakaian tapi sebenarnya telanjang. Seperti wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga menggambarkan postur tubuh (kewanitaan)-nya atau pakaian yang sempit yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, seperti pinggul, lengan dan yang sejenisnya. Akan tetapi, pakaian wanita ialah apa yang menutupi tubuhnya, tidak memperlihatkan bentuk tubuh, serta kerangka anggota badannya karena bentuknya yang tebal dan lebar.”
4.Pakaian wanita itu tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah melaknat wanita-wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita. Sedangkan untuk membedakan wanita dengan laki-laki dalam hal berpakaian adalah pakaian yang dipakai dinilai dari karakter bentuk dan sifat menurut ketentuan adat istiadat setiap masyarakat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’Al-Fatawa (22/148-149/155):
“Maka (hal) yang membedakan antara pakaian laki-¬laki dan pakaian perempuan dikembalikan pada pakaian yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan, yaitu pakaian yang cocok sesuai dengan apa yang diperintahkan untuk lak-¬laki dan perempuan. Para wanita diperintahkan untuk menutup dan menghalangi tanpa ada rasa tabarruj (mempertontonkan) dan memperlihatkan. Untuk itu tidak dianjurkan bagi wanita mengangkat suara di dalam adzan, ¬(membaca) talbiyah, (berdzikir ketika) naik ke bukit Shafa dan Marwa dan tidaklah telanjang di dalam Ihram seperti ¬laki-laki. Karena laki-laki diperintahkan untuk membuka kepalanya dan tidak memakai pakaian yang melampaui batas (dilarang) yakni yang dibuat sesuai anggota badannya, tidak memakai baju, celana panjang dan kaos kaki.”
Selanjutnya Syaikhul Islam mengatakan:
“Dan adapun wanita, sesungguhnya tidak dilarang sesuatupun dari pakaian karena ia diperintahkan untuk menutupi dan menghijabi (membalut) dan tidak dianjurkan kebalikannya. Akan tetapi dilarang memakai kerudung ¬dan memakai sarung tangan, karena keduanya merupakan_ pakaian yang terbuat sesuai dengan bentuk tubuh dan tidak ada kebutuhan bagi wanita padanya.” Kemudian beliau menyebutkan, bahwa wanita itu menutup wajahnya tanpa keduanya dari laki-laki sampai beliau mengatakan di akhir: “Maka jelas, antara pakaian laki-laki dan perempuan itu sudah seharusnya berbeda. Yakni untuk membedakan laki-laki dari wanita. Pakaian wanita itu haruslah istitar (menutupi auratnya) dan istijab (menghalangi dari pandangan yang bukan mahramnya -pent.). Sebagaimana yang dimaksud dhahir ” dari bab ini.”(11)
Kemudian beliau menjelaskan, bahwa apabila pakaian itu lebih pantas dipakai oleh laki-laki sebagaimana umumnya, maka dilarang bagi wanita. Hingga beliau mengatakan: “Manakala pakaian itu bersifat qillatul istitar (hanya sekedar menutupi aurat -pent.) dan musyabahah (pakaian itu layak dipakai oleh laki-laki dan perempuan – pent.), maka dilarang pemakaiannya dari dua bentuk (baik laki-laki maupun perempuan -pent.). Allahu a’lam. “
5.Pakaian wanita tidaklah terhiasi oleh perhiasan yang menarik perhatian (orang lain) ketika keluar rumah, agar tidak termasuk golongan wanita-wanita yang bertabaruj (mempertontonkan) pada perhiasan.
Berhijab
Bahwa seorang wanita yang menutupi badannya dari (pandangan) laki-laki yang bukan mahramnya disebut berhijab.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, putra-putra saudara perempuan mereka. ” (An-Nur: 31)
Dalam firman-Nya yang lain:
“Dan apabila kamu ada sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (hijab). ” (Al-Ahzab: 53)
Dan yang dimaksud dengan hijab (dari ayat di atas) adalah sesuatu yang menutupi wanita termasuk di dalamnya dinding, pintu atau pakaian.
Sedangkan kata-kata dalam ayat tersebut walaupun diperuntukkan kepada istri-istri Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, namun hukumnya adalah umum untuk semua wanita mukminah.
Karena `illat (landasan)-nya adalah berkaitan dengan firman ¬Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. ” (Al-Ahzab: 53)
Dan `illat (landasan) ini adalah umum. Maka keumuman `illat menunjukkan bahwa hukum tersebut berlaku untuk umum. Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala
yang lain:
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka “. (Al-Ahzab: 59)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam majmu’Al-Fatawa (22/110-111):
“Jilbab adalah kain penutup, sebagaimana Ibnu Mas’ud dan yang lainnya menamakan dengan sebutan rida’ (cadar) dan izar (sarung) sebagaimana umum menyebutnya, yakni kain sarung yang besar sebagai penutup kepala dan seluruh badan wanita. Diriwayatkan dari Abu Ubaidah dan yang lainnya, bahwa wanita itu mengulurkan jilbab dari atas kepalanya sampai tidak terlihat (raut mukanya), kecuali matanya. Termasuk sejenis hijab adalah niqab (sarung kepala). Dan dalil-dalil sunnah nabawiyyah
tentang kewajiban seorang wanita menutupi wajah dari selain mahramnya.”(12)
Dan dalil-dalil tentang kewajiban wanita untuk menutup wajah dari selain mahramnya menurut Al-Qur`an dan As Sunnah sangatlah banyak. Maka saya sarankan kepada anda wahai muslimah, (bacalah -pent.) mengenai hal tersebut di dalam Risalah Hijab dan Pakaian di dalam Shalat karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Risalah Hijab karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Risalatu Ash-Sharim Al Masyhur `ala Al-Maftunin bi As-Sufur karya Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri dan Risalah Hijab karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin. Semua risalah tersebut telah menjabarkan tentang permasalahan hijab beserta hal-hal yang berkaitan dengannya.
Ketahuilah wahai muslimah!
Bahwa ulama-ulama yang membolehkan kamu membuka wajahmu dengan kata-kata yang menggiurkan (rayuan-rayuai gombal) sepertinya dapat menghindarkanmu dari fitnah. Padaha fitnah tidaklah dapat dihindari, khususnya pada zaman sekarang ini. Dimana sedikit sekali laki-laki dan perempuan yang menyerukan larangan agama. Sedikit sekali rasa malunya. Bahkan banyak sekali orang-orang yang mengumbar fitnah. Kemudian sangatlah terhina wanita yang menjadikan macam-macam perhiasan yang mengundang fitnah berada di wajahnya. Berhati-hatilah dari hal itu.
Wahai muslimah! Pakailah dan biasakanlah berhijab. Karena hijab dapat menjagamu dari fitnah dengan seizin Allah. Tidak ada seorang ulama -baik dahulu maupun sekarang- yang menyetujui (pendapat) para pengumbar fitnah. Dimana mereka (para wanita) terlibat di dalamnya.
Sebagian wanita muslimah ada yang berpura-pura dalam berhijab. Yakni manakala berada dalam masyarakat yang menerapkan hijab, merekapun memakainya. Dan ketika berada dalam masyarakat yang tidak menerapkan hijab, merekapun melepaskan hijabnya.
Sementara ada sebagian lainnya yang memakai hijab hanya ketika berada di tempat-tempat umum dan ketika memasuki tempat pemiagaan, rumah sakit, tempat pembuat perhiasan emas ataupun salah satu dari penjahit pakaian wanita, maka ia pun membuka wajah dan kedua lengannya, seakan-akan ia berada di samping suaminya atau salah satu mahramnya! Maka takutlah kamu kepada Allah, hai orang-orang yang melakukan hal tersebut!
Telah kami saksikan pula, beberapa wanita yang berada di dalam pesawat (yakni pesawat yang datang dari luar Arab Saudi), rnereka tidak memakai hijab, kecuali ketika pesawat mendarat di salah satu bandara di negara ini. Seolah-olah hijab itu berasal dari adat kebiasaan (bangsa Arab) dan bukan dari pokok-pokok ajaran agama.
Wahai muslimah!
Sesungguhnya hijab menjagamu dari pandangan yang beracun. Pandangan yang berasal dari penyakit hati dan penyakit kemanusiaan. Hijab memutuskan darimu ketamakan yang berapi-api.
Maka pakailah hijab. Berpeganglah pada hijab. Dan janganlah kamu tergoda oleh pengumbar fitnah yang bertujuan memerangi hijab atau mengecilkan dari bentuknya. Sebab ia ingin menjadikanmu jahat. Sebagaimana firman Allah:
Sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh jauhnya (dari kebenaran). ” (An-Nisaa’: 27)
Dikutip dari Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashshu bil Mu’minat, Edisi Indonesia “Panduan Fiqih Praktis Bagi Wanita” Penerbit Pustaka Sumayyah, Pekalongan.
Footnote:
11. Jawabannya telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
12. Barangkali yang dimaksud adalah hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
“Ada beberapa pengendara (kendaraan) lewat di depan kami dan saat itu kami sedang ihram bersama Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam. Jika mereka sejajar dengan kami, maka kami mengulurkan jilbab ke wajah kami, dan bila mereka telah berlalu, maka kami membukanya kembali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Lihat kitab Mas’uliyatul Mar’ati Al-Muslimati, bab Hijab wa Shufur oleh Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim AI-Jarullah -pent.
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=252

Wanita Salafiyah

Sebuah kenikmatan yang besar tatkala seorang wanita muslimah diberikan hidayah oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengenal dan kemudian berpegang teguh dengan aqidah serta manhaj salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Agar nikmat besar yang tiada taranya ini terus langgeng, maka wajib untuk dijaga dengan mensyukurinya. Di antara bentuk syukur tersebut adalah berusaha bersikap dan berhias dengan beberapa sifat yang menjadi kekhususan wanita salafiyah, yang tidak dimiliki oleh selain mereka.

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah telah menjelaskan beberapa sifat dan perangai wanita salafiyah tersebut, di antaranya adalah:

1. Seorang wanita salafiyah itu berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam batas-batas kemampuan dia menurut pemahaman as-salafush shalih.

2. Seharusnya bagi seorang wanita salafiyah untuk bermuamalah dengan kaum muslimin dengan muamalah yang baik, dan bahkan juga terhadap orang-orang kafir. Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia,

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْناً

“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)

Dan Allah juga berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa’: 58)

Dan Allah subhanahu wata’ala juga berfirman,

وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا

“Dan apabila kalian berkata, maka hendaklah kalian berlaku adil.” (Al-An’am: 152)

Dan Dia subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيّاً أَوْ فَقِيراً فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala yang kalian kerjakan.” (An-Nisa’: 135)

3. Wajib pula bagi seorang wanita salafiyah untuk mengenakan pakaian Islami (yang sesuai dengan syari’at), dan menjauhi sikap tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Islam.

Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah di dalam Musnadnya dari hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk mereka.”

Dan Allah yang Maha Mulia telah berfirman tentang pakaian (yang syar’i) ini,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri kaum mukminin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Al-Ahzab: 59)

At-Tirmidzi meriwayatkan di dalam kitab Jami’nya dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

المَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita itu aurat, jika dia keluar maka syaithan akan mengikutinya.”

4. Kami juga menasehatkan kepada wanita salafiyah untuk bersikap baik terhadap suaminya jika dia memang menginginkan kehidupan yang bahagia, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ

“Jika seorang suami mengajak istrinya untuk menuju tempat tidurnya (untuk berhubungan) kemudian si istri tersebut enggan, maka Malaikat akan melaknatnya (si istri tersebut).” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dan dalam riwayat Muslim dalam shahihnya dengan lafazh,

إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا

“… kecuali para penduduk langit akan murka kepadanya.”

5. Demikian pula hendaknya seorang wanita salafiyah itu menjaga dan mendidik anak-anaknya dengan didikan yang Islami.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahih keduanya dari hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

 “Setiap kalian adalah pemimpin (penanggung jawab), dan masing-masing kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya (menjadi tanggung jawabnya).”

Dan kemudian beliau menyebutkan tentang wanita, bahwa dia itu,

رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Pemimpin (penanggungjawab) di rumah suaminya, dan dia akan ditanya tentang apa yang menjadi tanggung jawab dia di rumahnya tersebut.”

Dan di dalam ash-Shahihain, dari shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ، إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ

“Tidaklah ada seorang hamba yang diberi oleh Allah tanggung jawab, kemudian dia tidak mau untuk mengembannya dengan memberikan nasehat kepada siapa saja yang dipimpinnya itu, kecuali dia tidak akan mendapatkan aroma surga.”

Sehingga tidak selayaknya bagi seorang wanita salafiyah itu tersibukkan dengan dakwah daripada memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.

6. Demikian juga seharusnya bagi seorang wanita salafiyah untuk meridhai hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, yaitu lebih utamanya seorang laki-laki daripada wanita. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ

“Dan janganlah kalian iri hati terhadap sesuatu yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kalian, lebih banyak dari sebahagian yang lain.” (An-Nisa’: 32)

Allah subhanahu wata’ala juga berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (An-Nisa’: 34)

Dalam ash-Shahihain dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ،

“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri), karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau berusaha meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya, jika dibiarkan maka ia akan tetap bengkok.”

Maka sudah seharusnya bagi seorang wanita untuk bersabar terhadap ketentuan Allah ini kepadanya, berupa keutamaan laki-laki daripada wanita. Namun bukan berarti bahwa seorang laki-laki itu boleh “memperbudak” wanita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda –sebagaimana dalam Kitab Al-Jami karya Al-Imam At-Tirmidzi:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ غَيْرَ ذَلِكَ أَلَا إِنَّ لَكُمْ فِيْ نِسَاءِكُمْ حَقًّا ، أَلَا وَإِنَّ لِنِسَائِكُمْ عَلَيَكُمْ حَقًّا ، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ ، وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي طَعَامِهِنَّ وَ كِسْوَتِهِنَّ

“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri), karena mereka itu seperti tawanan kalian. Kalian tidak memiliki kekuasaan terhadap mereka sedikitpun selain itu. Ketahuilah bahwa kalian mempunyai hak-hak yang harus ditunaikan oleh istri-istri kalian, dan mereka juga mempunyai hak yang harus kalian tunaikan. Adapun hak kalian yang harus ditunaikan oleh istri kalian adalah mereka tidak boleh mengijinkan seorangpun berada di tempat tidur kalian dan mereka tidak mengijinkan masuk ke dalam rumah kalian orang yang tidak kalian sukai. Sedangkan hak istri kalian yang wajib kalian tunaikan adalah memberikan makanan dan pakaian dengan baik kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi)

Dan dalam Kitab as-Sunan dan Musnad Al-Imam Ahmad dari shahabat Mu’awiyah bin Haidah, bahwa ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang di antara kami terhadap suaminya?” Beliau menjawab,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ  إِلَّا فِي الْبَيْتِ

 “Hendaknya engkau memberi makan kepadanya ketika engkau makan, engkau memberikan pakaian kepadanya ketika engkau berpakaian atau telah bekerja, jangan memukul wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan menghajrnya (memboikotnya) keculi di rumah saja.”

Maka, semoga Allah melimpahkan barakah-Nya kepada kalian, sudah semestinya bagi kita semua untuk saling membantu di dalam kebaikan. Seorang suami bergaul dengan istrinya dengan pergaulan yang Islami, membantu dia untuk menuntut ilmu dan berdakwah kepada Allah. Dan juga istri hendaknya juga bergaul dengan suaminya dengan pergaulan yang Islami, membantunya untuk menuntut ilmu dan berdakwah di jalan Allah, serta membantunya dalam mengatur rumah tangga dengan baik. Karena Allah ‘azza wajalla berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kalian di atas kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2).

Wallahul Musta’an.



Dinukil dari Kitab Majmu’ Al-Fatawa An-Nisa’iyah karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.

Diterjemahkan dari http://www.sahab.net/home/?p=724
http://www.mahadassalafy.net/2012/03/kekhususan-wanita-salafiyah.html

Madu Anak Semua merk dan manfaatnya

SYAMIL (Madu Lengkap Si Buah Hati)

Dinkes P-IRT: 2093271041067
Diproduksi oleh: Mitra Ihsan Sejahtera Bogor-Indonesia
Volume/Isi: 125 ml & 200 ml
Kemasan: Botol plastik.
ALHAMDULILLAH , TELAH HADIR MADU LENGKAP UNTUK SI BUAH HATI ANDA, SYAMIL DATES HONEY
Komposisi: Madu, Kurma, Minyak Zaitun, Habbatussauda, Propolis, Curcuma, dan Vitamin C.
DENGAN KOMPOSISI MADU, KURMA, ZAITUN, DAN HABBATTUSSSAUDA YANG DILENGKAPI DENGAN CURCUMA, VITAMIN C DAN OMEGA 3, 6 & 9 SERTA PROPOLIS, SANGAT BAIK UNTUK PERTUMBUHAN DAN DAYA TAHAN TUBUH SERTA MENINGKATKAN KECERDASAN ANAK.
FOOD SUPLEMEN ANAK MENGANDUNG SEGALA KEBAIKAN THIBBUN NABAWI, PLUS OMEGA 3, 6 & 9 DAN PERTAMA MENGANDUNG PROPOLIS
SYAMIL DATES HONEY:
  • Mengandung komposisi lengkap: Madu, Kurma, Zaitun dan Habbatussauda.
  • Mengandung Omega 3, 6 & 9.
  • Mengandung Propolis.
  • Diperkaya Curcuma dan Vitamin C.
  • Memiliki tekstur yang lembut, rasa dan aroma yang lezat.
  • Kualitas yang stabil dan terjaga karena diawasi tenaga ahli berpengalaman.
  • Tanpa bahan pengawet.
KHASIAT, dengan izin Allah SYAMIL DATES HONEY bermanfaat untuk :
  • Mencerdaskan otak.
  • Meningkatkan stamina dan daya tahan tubuh.
  • Membantu pemulihan DBD ( demam berdarah) .
  • Menambah nafsu makan.
  • Menurunkan demam panas tinggi.
  • Melancarkan pencernaan.
  • Membantu menyembuhkan batuk, pilek dan radang tenggorokan.
  • Mencegah kejang-kejang.
  • Meningkatkan pertumbuhan otot dan tulang.
  • Anti leukimia.
  • Membantu menyembuhkan amandel, sariawan, asma, TBC, flek, kanker usus, cacingan, sembelit, dll.
 

Walad Honey

Depkes RI: PIRT-209327501494
Produksi: Nature Herb
Isi: 150 ml
Walad Honey adalah madu yang diformula untuk anak. Masa pertumbuhan anak tergantung dari asupan gizi, vitamin, protein dan mineral yang cukup. Yang paling terpenting adalah otak dan tulang pada anak karena itu walad honey memberikan suplemen sekaligus obat guna kebaikan si kecil.
Mengkonsumsi Walad Honey sama dengan memberikan imunisasi alami pada anak kita. Baik untuk kecerdasan otak dan perkembangan tulang si kecil.
Komposisi Walad Honey: Honey, Dattier (Sari Kurma), Nigella Sativa, Olive Oil, Omega 3, Centella Asiatica, Curcuma

Jelly Madu For Kids

MUI : 01121016640606
P. IRT No : 10932701270
Isi :135 gram
Jelly Madu For Kids
Madu Anak Untuk Pertumbuhan dan Kecerdasan Otak
Jelly Madu for Kids mengandung Royal Jelly dan Bee Pollen, tidak menggunakan aroma atau perasa buatan, hanya mengandung bahan-bahan alami.
Perpaduan antara madu, royal jelly dan bee pollen menjadikan madu dengan kualitas terbaik, sehingga menghasilkan manfaat yang super bagi anak.
Berdasarkan penelitian di beberapa negara, bermanfaat meningkatkan daya tahan tubuh dalam melawan penyakit dan infeksi, memperkuat fungsi otak, meningkatkan nafsu makan, menurukan panas dan pilek, mengandung multi vitamin, antibiotik alami, meningkatkan stamina serta mengendalikan bobot tubuh.
Komposisi : Madu, Royal Jelly & Bee Pollen

Habbafit (Habbatussauda, Madu dan Zaitun)

P-IRT No. 209320102446
Produksi: CV. Vicomas Internasional Indonesia
Isi: 60 ml
Habbafit terbuat dari madu murni, habbatussauda kwalitas tinggi dan minyak zaitun dengan komposisi yang tepat sehingga sangat bermanfaat bermafaat untuk memelihara kesehatan. Selain rasanya enak alami, juga sangat bermanfaat untuk meningkatkan immunitas tubuh, stamina, melancarkan peredaran darah dan sangat baik untuk pertumbuhan otak.
Komposisi :
  • Habbatussauda 5%
  • Madu 90%
  • Zaitun 5%

Habbat's Kid Honey (Omega 3, 6 & 9)

P. IRT. 109327301251
Produksi: Habbat’s
Isi: 135 gr
Adalah madu pilihan yang diracik dengan minyak habbatussauda dan minyak zaitun. Selain rasanya yang enak, juga mengandung omega 3, 6, dan 9. Sangat baik untuk pertumbuhan otak, menurunkan panas badan (demam), membantu memelihara kesehatan, meningkatkan stamina anak, serta menambah nafsu makan, serta menjaga sistem kekebalan tubuh (immunity system). Sangat baik diminum setiap hari sebagai pengganti multivitamin.
Kemasan Botol isi 135 gr
Komposisi: Pure Honey, Nigella Sativa Oil (Habbatus Sauda/Blackseed), Olive Oil (Olium Olivarium)

Slimming Blue (Pelangsing Tubuh)

DEPKES RI No. IKOT/557.3/9955/WAS

Produksi: PT. Istana Herbal
Isi: 60 Kapsul
Kami yang pertama Membuka kunci rahasia pelangsingan tubuh dengan biaya yang di ketahui, jangan hamburkan uang anda timbang dahulu berat badan anda sebelum membeli produk ini .
  • kelebihan 6 kg cukup beli 1 botol cuma 55ribu.
  • kelebihan 10 kg cukup beli 2 botol cuma 110ribu.
  • kelebihan 20 kg cukup beli 3 botol cuma 165ribu.
  • kelebihan 25 kg cukup beli 4 botol cuma 220ribu.
  • kelebihan 30 kg cukup beli 5 botol cuma 275ribu.
  • kelebihan 40 kg cukup beli 6 botol cuma 330ribu.
Free : Rahasia kunci penurunan berat badan Di dalam kotak kemasan.
Awas: Untuk ibu yang habis melahirkan dan menyusui kami anjurkan untuk bersabar tidak mengkonsumsi produk ini sampai masa menyusui selesai.
Tidak ada wanita yang tidak cantik. Yang ada hanyalah mereka yang malas mempercantik diri. Setiap wanita sudah dianugerahi kecantikan masing-masing. Karena itu sudah merupakan kewajiban wanita untuk menjaga dirinya agar selalu tampil cantik mempesona. Berupaya untuk lebih cantik sah-sah saja apalagi cantik itu membuat kita jadi lebih nyaman dan lebih percaya diri pada saat berinteraksi dengan lingkungan.
Cara Penggunaan:
  • Kelebihan 2 kg : 2 kapsul perhari
  • Kelebihan 6 kg : 4 kapsul perhari
  • Kelebihan 10 kg : 6 kapsul perhari
  • Kelebihan 20 kg : 8 kapsul perhari
  • Kelebihan 25 kg : 10 kapsul perhari
  • Kelebihan 30 kg : 12 kapsul perhari
Komposisi:
  • Jati belanda (Guazuma Ulmifolia) : 50%
  • Delima putih (Punica Granatum) : 10%
  • Meniran (Phyllanthusminuri) : 10%
  • Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) : 10%
  • Dan bahan-bahan lain sampai 100%
Dengan Body Cleansing & Toxic Release:
Membuang toksin / racun-racun yang selama ini tertimbun dalam tubuh. Sehingga memperbaiki metabolisme dan kesehatan tubuh secara menyeluruh.
Slimming & Excess Fat Elimination:
Menghancurkan dan menghilangkan lemak dalam tubuh. Sehingga efektif mengurangi berat badan tanpa mengganggu kesehatan.
Khasiat Insya Allah:
  • Menurunkan berat badan yang berlebihan secara alami tanpa efek samping
  • Menahan nafsu makan / rasa lapar
  • Merubah lemak menjadi energi
  • Membuat tubuh menjadi ramping, sintal dan sehat

Sekar Malam (Pil Khusus Wanita)

Sekar Malam (Pil Khusus Wanita)

POM TR 063462150
Produksi: Sahara
Isi: 1 Sachet (4 pil) & 1 Box (12 sachet/48 pil)
Herbal canggih yang tidak ada duanya. Special untuk kaum wanita sedunia. Khasiat yang terkandung pada jamu ini sangat besar. Yang utama adalah: mengembalikan sistem kerja organ vital wanita, merapatkan dan mengharumkan bagian terpenting, membersihkan dinding rahim secara aman dan efektif serta mengatasi frigid.
Jamu ini teristimewa dapat merapatkan rahasia wanita dan menjadikan kenikmatan bagi suami, mengencangkan otot-otot yang kendur, mengobati keputihan, pendarahan, sekaligus mengharumkan bagian terpenting.
Macam-macam penyakit yang bisa diobati oleh jamu ini : kista, mioma, toksoplasma, hernia, varises, wasir, keputihan, herpes, polip, HIV, infeksi vagina, kanker rahim.
Komposisi :
  • Quercus Lusitanica 25%
  • Uncaria Gambir 15%
  • dan Bahan-bahan lain sampai 100%
Aturan Minum:
  • Untuk perawatan: 2x2 pil (pagi dan malam sebelum makan)
  • Untuk pengobatan: 3x3 pil (sebelum makan)
Anjuran: Selama mengkonsumsi jamu ini, perbanyak minum air putih. Bila keluar kotoran-kotoran dari vagina tidak usah panik karena itu proses penyembuhan.
Gejala infeksi vagina: Sembelit, nyeri di rongga pinggul, berat badan turun drastis, pendarahan, mual, nyeri saat berhubungan.
Akibat infeksi: bisa mandul, hamil di luar kandungan, kematian janin, bayi lahir dengan berat badan rendah.
Coba buktikan khasiatnya: idaman setiap wanita membuat suami bahagia.

Cream Zaitun AL GHUROBA'


Cream Zaitun AL GHUROBA'

MUI No.: 12130000240110
POM No. TR 053 751 561
Produksi: Al- Ghuroba’ Sukoharjo – Indonesia
Insya Allah Berkahasiat Untuk:
  • Mengencangkan dan memberikan vitamin pada kulit
  • Menghilangkan sisik pada kulit dan bekas jerawat
  • Mencegah keringnya kulit serrta melembutkan
  • Menghilangkan lapisan kulit yang telah mati
  • Mempertahankan kelenturan kulit
  • Menghaluskan serta membuat wajah anda tetap berseri
  • Menghilangkan bekas luka, noda hitam, flek hitam
Komposisi, Setiap pot mengandung:
  • Minyak Zaitun (olive) 2 ml
  • Madu (mel depuratum) 2 gram
  • Bedak Bengkoang 3 gram
  • Emulgator Vaselin putih 6 gram

Subur Max (Herbal Kesuburan Untuk Pria dan Wanita)

Subur Max (Herbal Kesuburan Untuk Pria dan Wanita) 
Sertifikat Halal MUI: Cangkang 0014001636701
Produsen/Merk: Samawi Herbal
Volume (Isi): 50 kapsul
Subur Max (Untuk Pria dan Wanita)
Herbal Kesuburan "Subur Max" dari SAMAWI Herbal merupakan perpaduan dari berbagai jenis herbal yang diformulasikan untuk mengatasi gangguan kehamilan baik dari pihak istri maupun dari suami. Dengan mengkonsumsi secara teratur sesuai petunjuk dan mengkonsumsi makanan yang berkualitas serta menghindar dari makanan pantangan, InsyaAllah "Subur Max" membantu memaksimalkan ikhtiar anda.
Komposisi :
  • Nigella sativa
  • Piper betie lynn
  • curcuma Domestica, Dll.
Khasiat dan kegunaan insya Allah:
  • Menyuburkan rahim
  • Meningkatkan kwalitas sperma
  • Menormalkan siklus haid
  • Menyegarkan dan menyehatkan tubuh
  • Meningkatkan vitalitas
Cara Penggunaan:
  • 2 x 1 kapsul, pagi dan sore (Suami - istri), Untuk suami + 1 sdm madu
  • 2 x 1 atau 2 x 2 kapsul, untuk vitalitas

Herbal Sarang Semut Dan Manfaatnya



Sarang Semut merupakan tanaman obat asal Papua yang sangat berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit secara alami dan aman.

Secara turun-temurun sebenarnya Sarang Semut telah digunakan sebagai tanaman obat oleh masyarakat pedalaman bagian barat Wamena, Papua, seperti suku di Bogondini dan Tolikara.

KHASIAT SARANG SEMUT DAN PENYAKIT YANG INSYA ALLAH DAPAT DISEMBUHKAN:
1. Kanker dan tumor
2. Gangguan jantung terutama jantung koroner
3. Stroke ringan maupun berat
4. Ambeien (wasir)
5. Benjolan-benjolan dalam payudara
6. Gangguan fungsi ginjal dan prostat
7. Haid dan keputihan
8. Melancarkan peredaran darah
9. Migrain (sakit kepala sebelah)
10. Penyakit paru-paru (TBC)
11. Rematik (encok)
12. Gangguan alergi hidung, mimisan, dan bersin-bersin
13. Sakit maag

MANFAAT TAMBAHAN SARANG SEMUT:
Selain telah terbukti secara empiris dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti tersebut diatas, Sarang semut juga dapat digunakan untuk melancarkan dan meningkatkan ASI, memulihkan gairah seksual, dan memulihkan serta menjaga stamina.
1. Melancarkan dan meningkatkan ASI
2. Memulihkan gairah seksual
3. Memulihkan stamina tubuh

CARA PENYAJIAN:

1. Ambil sarang semut secukupnya (kira-kira 6x5 cm), cuci dibawah guyuran air sampai bersih.
2. Rebus bersama 1 gelas belimbing air bersih
3. Biarkan mendidih sampai air berkurang dan berwarna kemerah-merahan. Lalu diamkan beberapa saat, biarkan mengendap (sebaiknya menggunakan panci stainless steel).
4. Saring menggunakan saringan air minum (sebaiknya menggunakan saringan dari kain agar ampas tidak ikut).
5. Setelah itu sari sarang semut siap dikonsumsi.

- Dapat juga diminum bersama the hangat
- Sarang semut yang telah digunakan dapat digunakan lagi sampai air rebusa tidak berwarna.
- Tidak ada efek samping bila dikonsumsi berlebihan (overdosis).

KANDUNGAN SARANG SEMUT:

Uji kimia dari Tumbuhan Sarang semut menunjukkan bahwa tumbuhan ini mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin.
Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alami dari senyawa fenolik yang banyak merupakan pigmen tumbuhan. Saat ini lebih dari 6.000 senyawa yang berbeda masuk ke dalam golongan flavonoid. Flavonoid merupakan bagian penting dari diet manusia karena banyak manfaatnya bagi kesehatan.

Fungsi kebanyakan flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi struktur sel, memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C (meningkatkan efektivitas vitamin C), antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik.

Kemampuan sarang semut secara empiris untuk pengobatan berbagai jenis kanker atau tumor, TBC dan encok/rematik diduga kuat berkaitan dengan kandungan flavonoid Sarang Semut.

Sarang semut kaya akan antioksidan tokoferol (vitamin E) dan beberapa mineral penting untuk tubuh seperti kalsium, natrium, kalium, seng, besi, fosfor, dan magnesium.

Fungsi-fungsi mineral tersebut dapat menjelaskan beberapa khasiat lain dari Sarang semut, misalnya khasiatnya dalam membantu mengatasi berbagai macam penyakit / gangguan jantung, melancarkan haid dan mengobati keputihan, melancarkan peredaran darah, mengobati migraine (sakit kepala sebelah), gangguan fungsi ginjal dan prostat, memulihkan kesegaran dan stamina tubuh serta menulihkan gairah seksual.


Harga : Rp.80.000,-
Berat Produk + Kemasan : 130 gram

MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA

Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin



1. MAKNA HAID
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.

2. HIKMAH HAID
Adapun hikmahnya, bahwa karena janin yang ada didalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta'ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, dimana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.

Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa penyusuan.


[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa' . Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]

http://almanhaj.or.id

USIA HAID

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin

Usia haid biasanya antara 12 sampai dengan 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.

Para ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, dimana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut ?

Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan :"Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapa pun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu" [Al-Majmu 'Syarhul Muhadzdazb, Juz I, hal. 386].

Pendapat Ad-Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau diatas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.


[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisaa' oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita, diterbitkan oleh Darul Haq, Penrjemah Muhammad Yusuf Harun, Ma]

http://almanhaj.or.id

MASA HAID

Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin



Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.

Ibnu Al-Mundzir mengatakan : "Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya".

Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah dan logika.

Dalil Pertama.
Firman Allah Ta'ala.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ

"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci..." [Al-Baqarah : 222]

Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.

Dalil Kedua.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim Juz 4, hal.30 bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk umrah.

"Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka'bah sebelum kamu suci".

Kata Aisyah : "Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci".

Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah.

"Artinya : Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan'im".

Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.

Dalil Ketiga.
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal ini perlu, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan.

Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat ; jumlah bilangan dan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku' dan sujudnya; tentang zakat : jenis hartanya, nisabnya, presentasenya dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa ; waktu dan masanya; tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur, jima' (hubungan suami sitri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum Mu'minin.

Firman Allah Ta'ala.

ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

"Artinya : ..... Dan kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu ....." [An-Nahl : 89].

مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ

"Artinya : ..... Al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi mebenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu ...." [Yusuf : 111].

Oleh karena pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara' menurut ada atau tidaknya.

Dalil ini - yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah - berguna bagi Anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum-hukum syar'i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar'i dari Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam atau ijma' yang diketahui, atau qiyas yang shahih.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan : "Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu sebuah haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah" [Risalah fil asmaa' allati 'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama bihaa. hal. 35].

Dalil Keempat.
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan 'illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari ke empat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau antara hari kedelapan belas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat 'illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum diantara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam 'illat ? Bukankah hal ini bertentangan dengan qiyas yang benar ? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam 'illat ?

Dalil Kelima.
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur'an dan Sunnah.

Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluarnya darah itu terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan, Inysa Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah" [Risalah fil asmaa' allati 'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama bihaa. hal. 36].

Kata beliau pula : "Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka". [Risalah fil asmaa' allati 'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama bihaa. hal. 38].

Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam, yaitu : mudah dan gampang.

Firman Allah Ta'ala.

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

"Artinya : Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". [Al-Hajj : 78].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidak seorangpun mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak melampui batas) dan sebarkan kabar gembira". [Hadits Riwayat Al-Bukhari].

Dan diantara ahlak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa jika beliau diminta memilih antara dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabiiyah Lin Nisaa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Ustaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita, Penerjemah Muhammad Yusuf Harun, MA, Penerbit Darul Haq Jakarta]

http://almanhaj.or.id

HAID WANITA HAMIL

Oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin



Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad, rahimahullah, "Kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid".

Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu bukan barah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti hukum-hukum haid ? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.

Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al-Qur'an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.

Inilah madzhab Imam Malik dan Asy-Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al-Ikhtiyarat (hal.30) :"Dan dinyatakan oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini".

Dengan demikian, berlakulah pada haid wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid wanita tidak hamil, kecuali dalam dua masalah :

1. TALAK.
Diharamkan mentalak wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta'ala.

إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

"Artinya : ....Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ...." [Ath-Thalaaq : 1].

Adapun mentalak wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan masa kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan jima' (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.

2. IDDAH
Bagi wanita hamil iddahnya berakhir dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah Ta'ala.

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

"Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya" [Ath-Thalaaq : 4]

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa' . Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]

http://almanhaj.or.id

PILIHAN KATAGORI JUDUL