Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin
4. THAWAF WADA'
Jika seorang wanita telah mengerjakan seluruh manasik haji dan umrah,
lalu datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini
terus berlangsung sampai ia keluar, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf
wada'. Dasarnya, hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.
"Artinya : Diperintahkan kepada jemaah haji agar saat-saat terakhir bagi
mereka berada di Baitullah (melakukan thawaf wada'), hanya saja hal itu
tidak dibebankan kepada wanita haid". [Hadits Muttafaq 'Alaih].
Dan tidak disunatkan bagi wanita haid ketika hendak bertolak, mendatangi
pintu Masjidil Haram dan berdo'a. Karena hal ini tidak ada dasar
ajarannya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan seluruh
ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Bahkan, menurut ajaran (sunnah) Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Shafiyah,
Radhiyallahu 'Anha, ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya :"Kalau, demikian,
hendaklah ia berangkat" (Hadits Muttafaq 'Alaih). Dalam hadits ini,
Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal
itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita haid, dan dilakukan setelah suci.
5. BERDIAM DALAM MASJID
Diharamkan bagi wanita haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula
baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkan hadits Ummu
Athiyah Radhiyallahu Anha bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.
"Artinya : Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid ... Tetapi
wanita haid menjauhi tempat shalat". [Hadits Muttafaq 'Alaih]
6. JIMA' (SENGGAMA)
Diaharamkan bagi sang suami melakukan jima' dengan isterinya yang sedang
haid, dan diharamkan bagi sang isteri memberi kesempatan kepada
suaminya melakukan hal tersebut. Dalilnya, firman Allah Ta'ala.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : 'Haid itu
adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haid ; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum
mereka suci ...". [Al-Baqarah : 222]
.
Yang dimaksud dengan "Al-mahidhi" dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluarnya yaitu farji (vagina).
Dan sabda nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Lakukan apa saja, kecuali nikah (yakni : bersenggama)". [Hadits Riwayat Muslim]
Umat Islam juga telah berijma' (sepakat) atas dilarangnya suami
melakukan jima' dengan istrinya yang sedang haid dalam farji-nya.
Oleh karena itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian melakukan perbuatan mungkar ini, yang telah dilarang oleh
Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ijma'
ummat Islam. Maka siapa saja yang melanggar larangan ini, berarti ia
telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti selain jalan
orang-orang yang beriman.
An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarh Al Muhadzdzab Juz 2, hal. 374.
mengatakan : "Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang melakukan
hal itu telah berbuat dosa besar. Dan menurut para sahabat kami serta
yang lainnya, orang yang menghalalkan senggama dengan isteri yang haid
hukumnya kafir".
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima'
(senggama), seperti : berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain
daerah farji (vagina). Namun, sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah
antara pusat dan lutut jika sang isteri mengenakan kain penutup.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu 'Anha.
"Artinya : Pernah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhku berkain,
lalu beliau menggauliku sedang aku dalam keadaan haid". [Hadits
Muttafaq 'Alaih].
7. TALAK
Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta'ala.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
"Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) ..." [Ath-Thalaq : 1]
Maksudnya, isteri-isteri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi
iddah yang jelas. Berarti, mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan
hamil atau suci sebelum digauli. Sebab, jika seorang isteri ditalak
dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang
sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk
iddah. Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli,
berarti iddah yang dihadapinya tidak jelas karena tidak dapat diketahui
apakah ia hamil karena digauli tersebut atau tidak. Jika hamil, maka
iddahnya dengan kehamilan ; dan jika tidak, maka iddahnya dengan haid.
Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi sang
suami mentalak isterinya sehingga jelas permasalahan tersebut.
Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat
di atas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam shahih
Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah
menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya)
mengadukan hal itu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam pun marah dan bersabda.
"Artinya : Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai
ia suci, lalu haid, lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat
mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah
yang diperintahkan Allah dalam mentalak isteri".
Dengan demikian, berdosalah seorang suami andaikata mentalak isterinya
yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah dan merujuk isterinya
untuk kemudian mentalaknya secara syar'i sesuai dengan perintah Allah
dan Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk isterinya hendaklah ia
membiarkannya sampai suci dari haid yang dialaminya ketika ditalak,
kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki dapat
mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak isteri yang sedang haid, ada tiga masalah yang dikecualikan.
A. Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan isteri atau sebelum
menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya, pent), maka boleh
mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab, dalam kasus demikian, si isteri
tidak terkena iddah, maka talak tersebut pun tidak menyalahi firman
Allah Ta'ala :
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
" ... maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ..." [At-Thalaq : 1]
B. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
C. Jika talak tersebut atas dasar 'iwadh (penggantian), maka boleh bagi suami menceraikan isterinya yang sedang haid.
Misalnya, terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi
antara suami - isteri. Lalu si isteri meminta suami agar mentalaknya dan
suami memperoleh ganti rugi karenanya, maka hal itu boleh sekalipun
isteri dalam keadaan haid. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma.
"Artinya :Bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata : 'Ya Rasulullah, sungguh aku
tidak mencelanya dalam ahlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan
kekafiran dalam Islam'. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya :
'Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya.?'. Wanita itu menjawab :
'Ya' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda (kepada
suaminya) :'Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia". [Hadits Riwayat
Al-Bukhari]
Dalam hadits tadi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bertanya
apakah si isteri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini dibayar
oleh pihak isteri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam
keadaan bagaimanapun, jika memang diperlukan.
Dalam kitab Al-Mughni disebutkan tentang alamat bolehnya khulu' (cerai
atas permintaan pihak isteri dengan membayar tebusan) dalam keadaan haid
: "Dilarangnya talak dalam keadaan haid adalah adanya madharat (bahaya)
bagi si isteri dengan menunggu lamanya masa 'iddah. Sedang khulu'
adalah untuk menghilangkan madharat bagi si isteri disebabkan hubungan
yang tidak harmonis dan sudah tidak tahan tinggal bersama suami yang
dibenci dan tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya
bagi si isteri daripada menunggu lamanya masa 'iddah, maka diperbolehkan
menghindari madharat yang lebih besar dengan menjalani sesuatu yang
lebih ringan madharatnya. Karena itu Nabi tidak bertanya kepada wanita
yang meminta khulu' tentang keadaannya". [Ibid, Juz 7, hal. 52]
Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid,
karena hal itu pada dasarnya adalah halal, dan tidak ada dalil yang
melarangnya. Namun, perlu dipertimbangkan bila suami diperkenankan
berkumpul dengan isteri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak
dikhawatirkan akan menggauli isterinya yang sedang haid tidak apa-apa.
Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul
dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal yang dilarang.
[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-thabii'iyah Lin Nisaa' oleh
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah
Kebiasaan Wanita hal. 32-38 diterbitkan Darul Haq, Penerjemah Muhammad
Yusuf Harun, MA]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar